HADIST TENTANG KEUTAMAAN LAILATUL QADAR
Kitab Keutamaan Lailatul Qadar
Bab 1: Keutamaan 
Lailatul Qadar Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya 
(Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan, tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? 
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun 
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala 
urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (al-Qadr: 
1-5)
Ibnu 'Uyainah berkata, "Apa yang disebutkan di dalam AI-Qur'an dengan kata 'Maa adraaka' 'apakah yang telah memberitahukan kepadamu' sesungguhnya telah diberitahukan oleh Allah. Apa yang disebutkan dengan kata kata 'Maa yudriika' 'apakah yang akan memberitahukan kepadamu', maka Allah belum memberitahukannya."[1]
(Saya berkata, 
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah 
yang tertera pada nomor 26 di muka.")
Bab 2: Mencari 
Lailatul Qadar pada Tujuh Malam yang Terakhir
 
Bab 3: Mencari 
Lailatul Qadar pada Malam yang Ganjil dalam Sepuluh Malam Terakhir
Dalam hal ini 
terdapat riwayat Ubadah.[2]
 
987. Aisyah r.a. 
berkata, "Rasulullah ber'itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan 
beliau bersabda, 'Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam 
terakhir dari bulan Ramadhan."
988. Ibnu Abbas 
r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada malam 
sepuluh yang terakhir dari (bulan) Ramadhan. Lailatul Qadar itu pada sembilan 
hari yang masih tersisa,[3] tujuh yang masih tersisa, dan lima yang masih 
tersisa." (Yakni Lailatul Qadar 2/255).
989. Ibnu Abbas berkata, "Carilah pada tanggal dua puluh empat."[4]
Bab 4: 
Dihilangkannya Pengetahuan tentang Tanggal Lailatul Qadar karena Adanya Orang 
yang Bertengkar
 
990. Ubadah 
ibnush-Shamit berkata, "Nabi keluar untuk memberitahukan kepada kami mengenai 
waktu tibanya Lailatul Qadar. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum muslimin 
yang berdebat. Beliau bersabda, '(Sesungguhnya aku 1/18) keluar untuk 
memberitahukan kepadamu tentang waktu datangnya Lailatul Qadar, tiba-tiba si 
Fulan dan si Fulan berbantah-bantahan. Lalu, diangkatlah pengetahuan tentang 
waktu Lailatul Qadar itu, namun hal itu lebih baik untukmu. Maka dari itu, 
carilah dia (Lailatul Qadar) pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima.' (Dalam 
satu riwayat: Carilah ia pada malam ketujuh, kesembilan, dan kelima)."[5]
 
Bab 5: Amalan 
pada Sepuluh Hari Terakhir dalam Bulan Ramadhan
 
991. Aisyah r.a. 
berkata, "Nabi apabila telah masuk sepuluh malam (yang akhir dari bulan 
Ramadhan) beliau mengikat sarung beliau,[6] menghidupkan malam, dan membangunkan istri 
beliau."
 
Catatan 
Kaki:
[1] Di-maushul-kan oleh Muhammad bin Yahya bin Abu Umar 
di dalam Kitab Al-Iman, "Telah diinformasikan kepada kami oleh Sufyan bin 
Uyainah. Lalu, ia menyebutkan riwayat itu."
[2] Yaitu, hadits Ubadah yang maushul yang disebutkan 
sesudah bab ini.
[3] Sebagai badal dari perkataan 'al-Asyr al-awaakhir' 'sepuluh hari terakhir'. Sembilan hari yang masih tersisa, maksudnya tanggal dua puluh satu, tujuh hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh tiga, dan lima hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh lima.
[4] Riwayat ini mauquf (yakni perkataan Ibnu Abbas 
sendiri), tetapi dirafakan oleh Ahmad. Hadits ini telah ditakhrij di dalam 
Silsilatul Ahaditsish Shahihah (nomor 1471). Al-Hafizh berkata, "Terdapat 
kesulitan mengenai perkataan ini yang di dalam riwayat lain dikatakan pada 
tanggal ganjil. Kesulitan ini dijawab dengan mengkompromikan bahwa lafal yang 
lahirnya menunjukkan genap itu adalah dihitung dari akhir bulan, sehingga malam 
dua puluh empat (yang genap) itu adalah malam ketujuh (dihitung dari 
belakang)."
[5] Al-Hafizh berkata di dalam Kitab al-Iman di dalam al-Fath, "Demikianlah dalam kebanyakan riwayat, dengan mendahulukan lafal sab 'tujuh' daripada tis 'sembilan'. Hal ini mengisyaratkan bahwa harapan terjadinya Lailatul Qadar pada tanggal ketujuh (dari belakang, yakni dua puluh tiga) itu lebih kuat mengingat dipentingkannya tanggal itu dengan disebutkan di depan. Akan tetapi, di dalam riwayat Abu Nu'aim di dalam al-Mustakhraj lafal tis secara berurutan." Saya (al-Albani) katakan bahwa terdapat riwayat penyusun (Imam Bukhari) di sini yang terluput dikomentari, sebagaimana Anda lihat. Kemudian al-Hafizh lupa mensyarah riwayat ini di sini. Ia tidak menyebutkan di sana, karena ia menyebutkan di sini bahwa riwayat lain di sisi penyusun di dalam Al-Iman dengan lafal, "Carilah ia pada malam sembilan, tujuh, dan lima." Yakni, dengan mendahulukan lafal sembilan daripada tujuh, demikian pula syarahnya di sini. Seakan-akan terjadi kerancuan di sisinya antara riwayat Imam Bukhari di sini dengan riwayat Abu Nu'aim yang disebutkan di sana. Hanya Allahlah yang dapat memberikan perlindungan.
[6] Yakni, menjauhi hubungan biologis dengan istri beliau. Peringatan: Imam Nawawi membawakan hadits ini pada dua tempat dalam kitabnya Riyadhush Shalihin, dan pada tempat pertama ia menambahkan sesudah perkataan "lailahu" dengan "kullahu", dan menisbatkannya kepada Muttafaq'alaih (Bukhari dan Muslim). Tetapi, tidak saya jumpai tambahan ini di dalam riwayat kedua syekh itu dan lainnya. Namun, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad (6/41).
 
No comments:
Post a Comment